Ketika Hukum Mengalahkan Arogansi Pemegang Kekuasaan
Ketika Hukum Mengalahkan Arogansi Pemegang Kekuasaan
Ceritanya dua anggota Satlantas Polres Kupang, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess Nite, menghentikan perjalanan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongannya, usai melakukan kunjungan kerja di wilayah Kabupaten Kupang, Kamis (10/12013). Penghentian dilakukan polisi saat gubernur melintasi Jalan Timor Raya di Noelbaki, karena kendaraan yang mengawalnya membunyikan sirene.
Gubernur Frans Lebu Raya pun turun dari mobil dinasnya, lalu menghampiri dan menegur dua anggota Satlantas yang sedang bertugas.
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman.
Ceritanya dua anggota Satlantas Polres Kupang, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess Nite, menghentikan perjalanan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongannya, usai melakukan kunjungan kerja di wilayah Kabupaten Kupang, Kamis (10/12013). Penghentian dilakukan polisi saat gubernur melintasi Jalan Timor Raya di Noelbaki, karena kendaraan yang mengawalnya membunyikan sirene.
Gubernur Frans Lebu Raya pun turun dari mobil dinasnya, lalu menghampiri dan menegur dua anggota Satlantas yang sedang bertugas.
"Pak Gubernur turun dari oto (mobil) dan tanya saya. Kamu tahu tidak saya Gubernur NTT, kenapa kalian tahan? Saya hanya bilang, kami tidak tahan bapak. Kami hentikan kendaraan yang meng awal bapak karena membunyikan sirene, dan itu melanggar aturan. Lalu Pak Gubernur bilang biarkan saya lewat, nanti saya sampaikan ke Kapolda," kata Piet menirukan ucapan gubernur.
Hal senada disampaikan Aipda Mess Nite. Menurutnya, sekitar belasan mobil rombongan gubernur yang dihentikan. Bahkan, ada sebagian dari rombongan yang menendang papan rambu lalu lintas yang bertuliskan pemeriksaan kendaraan. Namun, keduanya mengaku prosedur yang dijalankan saat menghentikan kendaraan merujuk pada aturan lalu lintas, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009.
Menanggapi kejadian ini, Kapolda NTT Brigjen Ricky Sitohang mengatakan, berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, rombongan gubernur seharusnya dikawal oleh Polisi Lalu Lintas.
Menanggapi kejadian ini, Kapolda NTT Brigjen Ricky Sitohang mengatakan, berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, rombongan gubernur seharusnya dikawal oleh Polisi Lalu Lintas.
Menurut Sitohang, itu diatur dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ). Dalam undang-undang itu dijelaskan, pengawalan terhadap kepala daerah seperti gube rnur, wali kota, dan bupati, termasuk yang menggunakan konvoi voorijder dilakukan oleh polisi.
"Tidak ada aturan Satpol PP kawal gubernur saat menggunakan jalan raya tanpa ada pengawalan polisi. Jangan bikin aturan sendiri, dan jangan salah kaprah terhadap UU. Seharusnya, rombongan Gubernur NTT dikawal oleh Polisi Lalu Lintas. Satpol PP bisa saja ada, tapi mereka ikut dari belakang," tutur Sitohang
Terhadap polisi yang 'menahan' voorijder sipil, Kapolda Sitohang memberikan apresiasi. "Polisi seharusnya seperti itu. Saat menegakkan aturan, polisi jangan takut karena dia dilindungi UU. Saya senang melihat polisi yang paham dan bertanggung jawab terhadap tupoksinya. Terima kasih kepada polisi yang sudah laksanakan tugasnya itu. Dia sangat luar biasa, dia tahu tupoksi," puji Sitohang.
Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) Brigjen Ricky Sitohang
Terhadap polisi yang 'menahan' voorijder sipil, Kapolda Sitohang memberikan apresiasi. "Polisi seharusnya seperti itu. Saat menegakkan aturan, polisi jangan takut karena dia dilindungi UU. Saya senang melihat polisi yang paham dan bertanggung jawab terhadap tupoksinya. Terima kasih kepada polisi yang sudah laksanakan tugasnya itu. Dia sangat luar biasa, dia tahu tupoksi," puji Sitohang.
Dalam melaksanakan tugas, jelas Sitohang, polisi harus tegas, namun humanis. "Jangan arogan, jangan menunjukkan kekuasaan. Jalankan aturan perundangan dengan cara yang santun. Polisi jangan membentak-bentak, memaki-maki, apalagi menganiaya. Kalau polisi membiarkan terjadi pelanggaran lalu lintas, maka polisinya sontoloyo," bebernya.
Menyimak cerita ini, mungkin beberapa dari kita masih teringat kisah masa lalu saat seorang polantas bernama Brigadir Royadin yang menghentikan dan menilang mobil yang saat itu ditumpangi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Menyimak cerita ini, mungkin beberapa dari kita masih teringat kisah masa lalu saat seorang polantas bernama Brigadir Royadin yang menghentikan dan menilang mobil yang saat itu ditumpangi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Ceritanya pada pertengahan 1960-an itu, Royadin bertugas di pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryon o. Tiba-tiba Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah. Ia langsung mencegat. Ternyata pengemudinya orang yang sama sekali tidak asing.
Royadin tersentak, tapi ia tetap memilih menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut Royadin tidak marah dan memberikan surat-surat kelengkapan yang diminta sesuai peraturan. Berikut nukilan ceritanya yang membuat saya terharu, kagum sekaligus bangga dengan figur seorang pemimpin Yogyakarta.
Ketika Sri Sultan HB IX Ditilang Seorang Polantas
Ketika Sri Sultan HB IX Ditilang Seorang Polantas
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman.
Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. "Selamat pagi!" Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna.
Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. "Selamat pagi!" Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna.
"Boleh ditunjukan rebuwes?" Ia meminta surat-surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh. "Ada apa pak polisi?" Tanya pria itu.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh. "Ada apa pak polisi?" Tanya pria itu.
Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu. "Ya Allahâ¦sinuwun!" kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
"Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah!" Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
"Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah!" Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak. "Ya.. saya salah, kamu benar, saya pasti salah!" Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
"Jadi�" Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak. "Ya.. saya salah, kamu benar, saya pasti salah!" Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
"Jadi�" Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya.
"Em..emm ..bapak saya tilang, mohon maaf!" Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tid ak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
"Baik..brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!" Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.
"Baik..brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!" Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.
Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di hadapannya.
Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. "Sungguh orang yang besarâ¦!" begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali-kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
"Royadin, apa yang kamu lakukan, sa'enake dewe, ora mikir, iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!" Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
"Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun, biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?" Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
"Royadin, apa yang kamu lakukan, sa'enake dewe, ora mikir, iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!" Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
"Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun, biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?" Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
"Siap pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah dan memang salah!" brigadir Royadin menjawab tegas.
"Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia, ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang, ngawur, jan ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!" Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja, memang keras kepala kedengarannya.
"Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia, ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang, ngawur, jan ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!" Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja, memang keras kepala kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegal kah atau tempat la in? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari.
Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggenggam selembar surat.
"Royadin, minggu depan kamu diminta pindah!" lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan men anjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko.
"Siap pak!" Royadin menjawab datar.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggenggam selembar surat.
"Royadin, minggu depan kamu diminta pindah!" lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan men anjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko.
"Siap pak!" Royadin menjawab datar.
"Bersama keluargamu semua, dibawa!" pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!" Brigadir Royadin menawar.
"Ngawur, kamu sanggup bersepeda Pekalongan - Jogja? Pindahmu itu ke Jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!" Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan dari Sri Sultan HB IX yang intinya :
"Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilay ah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat!â Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
"Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!"
Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
Kalau kita membaca dua kisah yang berbeda ini yaitu "Kisah Dua Polantas yang Menghentikan Iring-Iringan Mobil Gubernur NTT" dan kisah "Brigadir Royadin yang Menilang Sri Sultan HB IX" maka terlihat jelas perbedaan sikap meskipun kedua subyeknya sama-sama Gubernur.
"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!" Brigadir Royadin menawar.
"Ngawur, kamu sanggup bersepeda Pekalongan - Jogja? Pindahmu itu ke Jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!" Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan dari Sri Sultan HB IX yang intinya :
"Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilay ah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat!â Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
"Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!"
Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
Kalau kita membaca dua kisah yang berbeda ini yaitu "Kisah Dua Polantas yang Menghentikan Iring-Iringan Mobil Gubernur NTT" dan kisah "Brigadir Royadin yang Menilang Sri Sultan HB IX" maka terlihat jelas perbedaan sikap meskipun kedua subyeknya sama-sama Gubernur.
Gubernur NTT melalui ucapannya bisa disimpulkan mewakili figur penguasa masa modern dengan segala arogansinya, sedangkan sikap yang dilakukan oleh Sultan HB IX mencerminkan figur seorang pemimpin rakyat yang patut dicontoh dan dikenang sepanjang masa.
Dan apa yang di lakukan Brigadir Royadin telah memberi contoh yang harus diteladani. Bagaimana seorang Polisi bersikap dan berani bertindak menegakkan peraturan tanpa kompromi siapa yang melanggar.
Sumber :
kaskus
kaskus
0 komentar:
Posting Komentar